Syukur Dalam Keadaan Bagaimanapun : Syukur ketika Kaya dan Syukur ketika Miskin -->

Header Menu

Syukur Dalam Keadaan Bagaimanapun : Syukur ketika Kaya dan Syukur ketika Miskin

Munawir M. Jamil
Saturday 21 December 2019



Syukur berasal dari bahasa Arab Syakara yang berarti membuka, atau menampakkan.
Dalam Alquran, ia kerap disandingkan dengan antonimnya, kufur, yang berarti menutup. 

Syukur memiliki tiga rukun.

Yang jika tidak terpenuhi salah satu saja di antara ketiganya, maka tidak dapat dinamai syukur. 

Pertama, mengakui atas kenikmatan itu di dalam batin. 

Kedua, mengatakannya secara lahir. 

Ketiga, memohon pertolongan dengannya pada ketaatan.

Syukur berhubungan dengan hati, lisan, dan tindakan. 
Hati untuk mengenal dan mencintai, lisan untuk menyanjung dan memuji, dan tindakan untuk melaksanakan ketaatan kepada yang memberi kenikmatan, dan menjauhi segala keburukan.

Dalam Alquran, berkali-kali Allah menyebut kata “syukur” tidak kurang dari delapan puluh kali. Agar seseorang ingat, betapa syukur adalah perbuatan yang bukan remeh.

Di antara penyakit hati yang banyak diidap oleh manusia adalah lupa kepada Allah saat ia menikmati anugerah-anugerah yang Allah berikan.

Barulah setelah ada sebagian kecil dari nikmat itu dicerabut oleh-Nya, ia tersadar dan merasakan arti kehilangan. 

Orang-orang semacam ini, tidak jarang disindir oleh Allah dalam beberapa ayat, antara lain:

47. يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Hai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu dan (ingat pula) bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah: 47)

Yang dibicarakan ayat tersebut adalah kaum Bani Israil. Redaksi yang digunakanNya adalah Ni‟mat dalam bentuk tunggal, yang seakan-akan bermaksud: Nikmat yang

Kuberikan padamu begitu banyak. 
Jika kau menghitungnya, kau tidak akan mampu menyelesaikannya. 

Maka, ingatlah satu saja nikmat-Ku yang telah Kuberikan padamu. 
Nikmat yang diberikan kepada Bani Israil tidak terhitung banyaknya.

Dan yang paling tampak demikian jelas adalah, belum lama itu, mereka telah diselamatkan kekejaman pemerintah yang ketika itu membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir, dan dibiarkannya bayi-bayi perempuan hingga dewasa yang kemudian dijadikan pelampiasan seksual mereka. 

Kaum Bani Israil itu juga baru saja diselamatkan dari kejaran Firaun.

Dibelahkan-Nya lautan sehingga mereka dapat berjalan dengan nyaman. 
Tapi mereka tidak juga sadar. 

Ketika mereka ditempatkan dalam tempat yang tenang, dan ditinggal sebentar saja oleh Musa untuk menjumpai Tuhannya dan menerima kitab suci, mereka menjadikan patung sapi sebagai sesembahan.

Allah kemudian mengampuni mereka agar mereka bersedia untuk bersyukur. 
Tapi mereka tetap kufur. 
Mereka dimatikan, lalu dihidupkan kembali, agar mereka bersyukur.

Tapi tetap saja mereka kufur. Mereka dinaungkan awan dari sengatan matahari, diberikan makanan berupa Manna dan Salwa, mereka tetap tidak mau bersyukur.

Mereka disuruh masuk ke dalam tempat ibadah dengan merunduk sembari memohon ampunan, mereka malah masuk dengan ndangak sembari memohon makanan.

Saat mereka kehausan, Musa memukulkan tongkatnya, lalu Allah memancarkan air untuk mereka, agar mereka kehilangan dahaganya, tapi lagi-lagi mereka tidak mau bersyukur. 

Kenikmatan-kenikmatan itu dirasanya selalu kurang.

Apa yang diceritakan Allah dalam ayat-ayat-Nya itu, mengajak kita semua agar jangan sampai seperti mereka. Rakus dan serakah.

Tidak menerima apa adanya, yang sesungguhnya semuanya ada. 
Dan jika kita seperti mereka, maka ingatlah sekurangkurangnya satu nikmat Allah untuk menjadi alasan kita bersyukur.  

Mukmin sejati, tidak lagi diperintahkan oleh-Nya untuk mengingat nikmat-Nya.

Karena sesungguhnya Tuhan tidak pernah menyuruh seseorang untuk mengingat nikmatNya. 
Dia memerintahkan hamba-Nya mengingat nikmat agar yang bersangkutan ingat dengan siapa yang memberi nikmat.

Mukmin sejati tidak lagi dipancing dengan ingatan akan kenikmatan, tapi perintah-Nya adalah dengan langsung mengingat-Nya. 

Mengherankan sekali orang-orang yang tidak mau bersyukur. 
Padahal ketika seseorang bersyukur pada Tuhannya, sejatinya ia telah bersyukur pada dirinya sendiri.

40. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“… Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah swt.), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa mengingakari nikmat maka (itu adalah bencana bagi dirinya, karena) sesungguhnya Tuhan Pemeliharaku Mahakaya, lagi Mahamulia.” (Q.S. Al-Naml: 40)

Allah tidak butuh apapun dari manusia. 
Sehingga, rasa terima kasih manusia padaNya, akan kembali padanya. 
Antara lain, selama seseorang bersyukur dan beriman, Allah tidak akan menjatuhkan siksa padanya.

147. مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

“Apa yang dilakukan (apa manfaatnya bagi) Allah dengan penyiksaan terhadap kamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri (orangorang yang taat dan berbuat kebajikan) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Nisā‟: 147) Bukan hanya itu, ketika seseorang mau bersyukur, Allah akan menambahkan kenikmatan padanya.

7. وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhan Pemelihara kamu memaklumkan: „Demi (kekuasaan-Ku), jika kamu bersyukur pasti Aku tambah (nikmat-nikmat-Ku) kepada kamu dan pasti jika kamu mengingkari (nikmat-nikmat-Ku) maka sesungguhnya siksa-Ku benar-benar sangat keras.” (Q.S. Ibrāhīm: 7)

Tatkala Tuhan memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam, Iblis lebih memilih keluar dari surga daripada harus bersujud kepada yang tercipta dari unsur yang lebih rendah. 

 Ketika diusir, Iblis memohon pertangguhan.


Pertangguhan agar tidak dimatikan sampai Hari Kiamat datang. Ia ingin balas dendam.

Dan yang diancamkan oleh Iblis adalah: Dan Kau tidak akan menjumpai kebanyakan mereka mampu bersyukur. 

Jika pun ada yang bersyukur, hanya sedikit sekali yang benar-benar bersyukur.

13. وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang benar-benar bersyukur.” (Q.S. Saba‟: 13)

Seorang ahli hikmah berkata, “Mensyukuri kemampuan bersyukur, lebih utama daripada syukur itu sendiri.

Dan itu bisa terjadi jika engkau melihat syukurmu adalah karena pertolongan dan bimbingan-Nya. Dan kau tahu bahwa pertolongan dan bimbingan itu merupakan karunia besar yang diberikan padamu.

Maka dengannya, kau mampu bersyukur atas kemampuan bersyukurmu. 
Dan lebih sempurna lagi jika kau mampu bersyukur atas kemampuanmu mensyukuri syukur, dan demikian seterusnya.

”Ada yang berkata: 
Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur dalam keadaan berada. 
Orang yang benar-benar syukur adalah orang yang bersyukur dalam keadaan tidak memiliki apa-apa. Orang-orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur saat mendapat pemberian.

Orang yang benar-benar syukur adalah orang yang bersyukur saat pemberian itu diambil. 
Orang-orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur saat mendapat kemanfaatan.

Orang yang benar-benar bersyukur adalah orang yang bersyukur saat mendapat kemadaratan. 
Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur saat menerima kenikmatan.

Orang yang benar-benar bersyukur adalah orang yang bersyukur saat mendapat cobaan. 
Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur dalam bahagia.

Orang yang benar-benar bersyukur adalah orang yang bersyukur dalam derita. Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Orang melarat yang bersabar lebih baik daripada orang kaya yang bersyukur.

Orang melarat yang bersyukur lebih baik dari keduanya. Orang melarat yang bersabar dan bersyukur, lebih baik dari semuanya.”

Syukur bukanlah tentang kenikmatan. 
Tapi syukur adalah tentang Sang Pemberi nikmat.

 Nikmat selalu ada, tapi banyak orang tidak menyadarinya. 

Karena itu, bersyukur adalah bersyukur dalam bahagia, dan bersyukur dalam derita.